Tuesday, April 24, 2018

Filled Under:

Biografi imam An-Nasa'i


Biografi IMAM NASA’I

1
 
            Nama lengkap beliau adalah Abu’ Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi.[1] Beliau dilahirkan disebuah tempat bernama Nasa’ pada tahun 215 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 214 H, [2] dan meninggal dunia di Mekah pada tahun 303 H. Ia adalah salah seorang  penulis kitab as-Sunan(an-Nasa’i). Dia pernah menjelajahi negerinya hingga akhirnya menetap di Mesir. Pengembaraannya bertujuan mencari para ahli ilmu disetiap tempat yang didatanginya. Lalu melanjutkan pengembaraan ke  Ramala, sampai akhirnya wafat dan dimakamkan di Baitul Makdis. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa dia wafat di Mekah al-Mukarramah saat menunaikan ibadah haji. Kitab-kitabnya adalah as-Sunan al-Kubra (di bidang hadis), al-Mujtaba (yang dikenal juga dengan as-Sunan ash Shugra), adh-Dhu’afa wa al-matrukun (dibidang periwayat hadis), khashaish ‘Ali, Musnad ‘Ali, dan Musnad Malik. Dalam kitab sunannya memuat 5769 hadis.[3] Beliau belajar hadis dari Qutaibah bin Sa’id, ‘Ali bin Khasyram, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Basysyar, Abu Daud as-Sajistani dan lain-lain.  Hadis- hadisnya diterima dan dipelajari oleh banyak ulama, di samping itu ia mempunyai karya cukup banyak  dibidang hadis. Ia bermazhab  Syafi’I dan mengarang  buku manasik menurut mazhab imam Syafi’I . Sejumlah ulama hadis berkumpul ( untuk belajar) kepada Nasa’I , antara lain Abdullah bin Ahmad bin Hanbal di Tursus. Mereka semuanya menulis hadis-hadis pilihan Nasa’I . Sebagian penguasa (amir) pernah bertanya kepadanya tentang kitab Sunan-nya, “apakah seluruh isi kitab tersebut sahih?” Ia menjawab, “ Di dalamnya terdapat hadis-hadis sahih, hadis-hadis hasan dan yang mendekati keduanya.” Penguasa itu berkata lagi, “Jika demikian, tuliskanlah untuk kami hadis-hadis yang sahih semata.” Nama Mujtaba (pilihan), sebuah kitab berisi hadis-hadis pilihan. Didalamnya tidak ia tuliskan setiap hadis yang isnadnya masih diperbincangkan karena terdapat ‘illat padanya.[4]
            Imam Nasa’I merupakan salah satu tokoh ulama penyusun kitab hadis yang sangat termansyur pada masanya. Dalam jajaran kitab-kitab hadis, selain shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at- Tirmidzi, ada juga Sunanus Surga, Karya besar Imam Nasa’I. kitab ini termasuk jajaran kitab hadis pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadis dan para kritikus hadis. Ia juga pengarang kitab-kitab berharga lainnya. Sebagai seorang ulama, ia merupakan ulama hadis yang menjadi teladan dan ulama terkemuka, yang keutamaannya melebihi para ulama lain yang hidup pada zamannya. Ia adalah seorang imam ahli hadis syaikhul Islam, sebagaimana diungkapkan Zahabi dalam Tazkirah-nya.
A.    Mengembara demi Mengumpulkan Hadis
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal al-Qur’an. Dari guru-guru dinegerinya itu, ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah beranjak remaja, ia sering mengembara untuk mendapatkan hadis. Belum genap berusia 15 tahun, ia telah berangkat mengembara menuju Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan jazirah.
Kepada ulama-ulama dibanyak negeri tersebut, ia belajar hadis hingga menjadi seorang yang sangat  terkemuka dalam bidang hadis yang mempunyai sanad sedikit. Ia juga dikenal memiliki kapasitas yang kuat dalam bidang kekuatan periwayatan hadis.
Saat di Mesir , Nasa’I merasa cocok tinggal di negeri itu. Karenanya, ia kemudian memutuskan menetap di jalan Qanadil hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian, ia berpindah ke Damsyik ( Damaskus). Di tempat yang baru ini, ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkannya menjadi syahid.
Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyah. Hal ini sama artinya mereka ( golongan penguasa) meminta secara halus kepada Nasa’I agar menulis sebuah buku tentang Mu’awiyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali. Menghadapi hal itu, ia menjawab, “ Tidakkah engkau merasa puas dengan adanya kesamaan derajat (antara Mu’awiyah dengan Ali), sehingga engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?”
Mendapat jawaban seperti ini, mereka pun naik pitam. Suruhan sang penguasa itu lalu memukul dan menginjak-injaknya, kemudian menyeretnya keluar dari masjid dengan paksa. Begitu rupa siksaan yang dialami hingga membuatnya nyaris mati.
Ia wafat pada tahun 303 H, tetapi tetap tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahwa saat ia mendapat cobaan tragis di Damaskus itu, ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Pemohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Mekkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwa. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-‘Uqbi al- Misri dan ulama yang lain.
Namun, Imam zahabi tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Menurutnya, Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Yunus dalam Tarikhnya; demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi  tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ia meninggal di ramlah. Tetapi, yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis.
B.     Sifat-sifatnya
Secara fisik, ia mempunyai wajah yang tampan, warna kulit kemerah –merahan, dan senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik diwaktu malam maupun siang hari, dan selalu beribadah haji serta berjihad. Selain itu, Nasa’I juga mengikuti jejak Nabi Dawud dalam melakukan puasa, sehari puasa dan sehari tidak.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gubernur Mesir. Orang-orang mengakui kesatrian dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang tetap berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum muslimin yang tertangkap lawan. Walau demikian, ia dikenal “menjaga jarak” dengan majelis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur bersamanya. Demikianlah, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Namun, jika ada panggilan  untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu.
C.     Fiqh Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hagal hadis, tapi juga mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadis yang diriwayatkan. Selain itu, ia juga seorang ahli fiqh yang berwawasan luas. Iman Daraqutnu pernah berkata bahwa Nasa’I adalah salah seorang syekh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadis dan perawi-perawinya.
Ibnu Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahwa Nasa’I bermazhab Syafi’I dan ia mempunyai kitab manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’I, Rahimahullah. Imam Nasa’I telah menulis beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya, diantara kitab As-Sunanun-Kuba, As-Sunanus-Sugra (terkenal dengan nama Al-Mujtaba) , Al-Khasa’is, Fada’ilus-Sahahab, dan Al-Manasik. Diantara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bermutu adalah kitab As-Sunan.
D.    Sunan Nasa’i
Nasa’I menerima hadis dari sejumlah guru hadis terkemuka, salah satunya Qutaibah Imam Nasa’I Sa’id. Ia mengunjungi Kutaibah ketika berusia 15 tahun dan selama 14 bulan belajar dibawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram, dan Abu Dawud, penulis As-Sunan, serta Tirmdzi, penulis Al-Jami’.
Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para ulama  yang tidak sedikit jumlahnya. Beberapa  di antaranya Abul Qasim at-Tabarani (penulis tiga buah Mu’jam), Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni (perawi sunan Nasa’i).
Ketika Imam Nasa’I selesai menyusun kitabnya, As-Sunanul-Kubra, ia  lalu menghadiahkannya kepada Amir Ar-Ramlah. Sang Amir bertanya, “ Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?”
Ia menjawab, “Ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang hamper serupa dengan keduanya”.
Sang Amir menjawab, “ Kalau demikian, pisahkan hadis-hadis yang shahih saja.”
Atas permintaan sang Amir inilah, maka Nasa’I kemudian berusaha menyeleksi, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan Sunanus-Sugra. Kitab ini disusun menurut sistematika fiqh, sebagaimana kitab-kitab sunan lain.
Imam Nasa’I sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanus-Sugra. Karenanya, para ulama berkata, “ Kedudukan kitab Sunanus-Sugra ini dibawah drajat shahih Bukhari dan shahih Muslim, karena sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat didalamnya.
Oleh karena itu, kita dapatkan bahwa hadis-hadis Sunanus- Sugra yang dikritik oleh Abul Faraj bin al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadis maudu’ kepada hadis-hadis tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Sayuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebagian besar hadis yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa’I, terdapat hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, hanya saja hadis yang dhaif sedikit sekali jumlahnya.
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa isi kitab ini shahih semuanya, maka itu adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau, mungkin yang dimaksud dari pernyataan tersebut sebenarnya adalah sebagian besar hadis dalam kitab ini hadis shahih.
Sunanus-Sugra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadis pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadis dan para kritikus hadis. Sedangkan, Sunanul-Kubra telah disepakati oleh ulama kritik hadis untuk ditinggalkan. Hal ini dikarenakan metode yang ditempuh Nasa’I dalam penyusunan kitab ini tidak meriwayatkan sesuatu hadis yang dicantumkan.
Apabila ada suatu hadis yang dinisbahkan kepada Nasa’I, misalnya dikatakan “ hadis riwayat Nasa’I”, maka yang dimaksud ialah riwayat yang tedapat dalam Sunanus-Sugra, bukan Sunanul-Kubra (kecuali oleh sebagian kecil penulis). Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud syarhu Sunan Abi Dawud pada bagian akhir uraiannya yang berbunyi: “ketahuilah, perkataan Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan Mizzi dalam Al-Atraf-nya, bahwa “hadis ini diriwayatkan oleh Nasa’I”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam Sunanul-Kubra, bukan Sunanus-Sugra, yang ini beredar dihampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain.
Sunanus-Sugra ini merupakan ringkasan dari Sunanul-Kubra dan kitab ini hamper-hampir sulit ditemukan. Oleh karena itu, hadis-hadis yang dikatakan oleh Munziri dan mizzi sebagai “ diriwayatkan oleh Nasa’I” adalah yang terdapat dalam Sunanul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini sebab setiap hadis yang terdapat dalam Sunanus-Sugra terdapat pula dalam Sunanul-Kubra, dan tidak sebaliknya.[5]


E. Guru dan Muridnya
Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
  • Di antara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
1. Qutaibah bin Sa’id
2. Ishaq bin Ibrahim
3. Hisyam bin ‘Ammar
4. Suwaid bin Nashr
5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
6. Abu Thahir bin as Sarh
7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
8. Ishaq bin Rahawaih
9. Al Harits bin Miskin
10. Ali bin Kasyram
11. Imam Abu Dawud
12. Imam Abu Isa at Tirmidzi
Dan yang lainnya.
  • Murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah:
1. Abu al Qasim al Thabarani
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani
4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
5. Al Hasan bin Rasyiq
6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
7. Abu Ja’far al Thahawi
8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
10. Abu Basyar ad Dulabi
11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni.
Dan yang lainnya.      

F.     Hasil Karya Beliau
Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, diantaranya adalah;
1. As Sunan Ash Shughra
2. As Sunan Al Kubra
3. Al Kuna
4. Khasha`isu ‘Ali
5. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
6. At Tafsir
7. Adl Dlu’afa wa al Matrukin
8. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
9. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
10. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
11. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
12. Musnad Hadits Malik
13. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
14. Al Ikhwa
15. Al Ighrab
16. Musnad Manshur bin Zadzan

17. Al Jarhu wa ta’dil
G.     Contoh Hadisnya
1.                       Penjelasan tentang orang muslim dan orang muhajir
عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم المسلمون من لسا نه ويده والمها جرمن هجر ما نهى الله عنه. (رواه البخارى و ابو داود والنسائ)
Artinya:
“Dari Abdillah bin Amru, dari nabi SAW bersabda, orang muslim adalah orang yang orang-orang muslim sekitarnya merasa terjaga dari derita yang diakibatkan lisan dan tangannya, sedangkan orang muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah.” (diriwayatkan al-Bukhari abu Daud dan An-Nasa’i)


2. Tanda keimanan
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لما يوئمن احد كم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
(رواه البخاري ومسلم و أحمد والنسائ)
Artinya:
Dari Anas Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, bersabda, “Tidak beriman salah seorang kalian sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, Ahmad dan An-Nasa’y).
3. Tanda-tanda kemunafikan
عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أربع من كن فيه كان منا فقا خالصا ومن كانت فيه خاصلة منهن كانت فيه خصلة من النفا ق حسى يدعها اذا ائوتمن خا ن واذا حد ث كذ ب واذا عاهد غد ر واذا خا صم فجر.
(رواه الشيخا ن و أصحا ب السنن الثلاثاة أبود واد والترمذي والنسائ)
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Ada empat sifat bila kermpat-empatnya itu terdapat dalam diri seseorang maka ia telah menjadi seorang munafik tulen. Dan, barang siapa yang pada dirinya hanya terdapat salah satu dari keempat sifat itu maka pada dirinya sudah tumbuh satu sifat kemunafikan, sehingga ia meninggalkannya. Bila dipercaya khianat, bila berbicara dusta, bila mengikat tali perjanjian ingkar, dan bila memusuhi licik.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, Ashabus-Sunan ats-Tsalatsah, Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y).
H.     Penilaian Ulama
Dari kalangan ulama seperiode beliau dan murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada beliau, diantara mereka yang memberikan pujian kepada beliau adalah:
1.      Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; “beliau adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.”
2.      Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; “aku ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.”
3.      Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; “beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin.”
4.      Abu Sa’id bin yunus menuturkan; “beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.”
5.      Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; “beliau adalah seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.”
6.      Ad Daruquthni menuturkan; “Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.”
7.      Al Khalili menuturkan; “beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.”
8.      Ibnu Nuqthah menuturkan; “beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.”
9.      Al Mizzi menuturkan; “beliau adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.”[6]



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syihabbuddin. 1415 H/ 1995 M.  Tahdzib At-Tahdzib, Bairut: Darul Fikr.
Pramono, Teguh. 2012. 100 MUSLIM TERHEBAT Sepanjang Masa.  Jogjakarta: DIVA press.
Abu Khalil, Syauqi. 2007. Atlas Hadits.  Jakarta : Almahira
Qadir ar-Rahbawi, Abdul. 2002.  Salat Empat Mazhab,  Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 
BIOGRAFI AN-NASA’I _ Diones Aliaski Blog.htm, tanggal 20 Desember 2016


1.       Syihabbuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al- Ash Qalany, Tahdzib At-Tahdzib,( Bairut: 1415 H/ 1995 M, Darul Fikr), hal. 67
2.       Teguh Pramono, 100 MUSLIM TERHEBAT Sepanjang Masa, ( Jogjakarta:  2012, DIVA press), hal. 278
3.       Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Hadits, ( Jakarta :2007, Almahira), hal. 11
4.       Abdul Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Mazhab, ( Jakarta: 2002, PT. Pustaka Litera AntarNusa),  hal. 11
5.       Teguh Pramono, 100 MUSLIM TERHEBAT Sepanjang Masa, ( Jogjakarta:  2012, DIVA press), hal. 278-282
6.  BIOGRAFI AN-NASA’I _ Diones Aliaski Blog.htm, tanggal 20 Desember 2016

0 comments:

Post a Comment

Copyright @ 2013 Dini Setiawati.