Biografi IMAM NASA’I
|
Imam Nasa’I
merupakan salah satu tokoh ulama penyusun kitab hadis yang sangat termansyur
pada masanya. Dalam jajaran kitab-kitab hadis, selain shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at- Tirmidzi, ada juga Sunanus Surga, Karya
besar Imam Nasa’I. kitab ini termasuk jajaran kitab hadis pokok yang dapat
dipercaya dalam pandangan ahli hadis dan para kritikus hadis. Ia juga pengarang
kitab-kitab berharga lainnya. Sebagai seorang ulama, ia merupakan ulama hadis
yang menjadi teladan dan ulama terkemuka, yang keutamaannya melebihi para ulama
lain yang hidup pada zamannya. Ia adalah seorang imam ahli hadis syaikhul
Islam, sebagaimana diungkapkan Zahabi dalam Tazkirah-nya.
A.
Mengembara
demi Mengumpulkan Hadis
Ia lahir dan tumbuh berkembang di
Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan
tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal
al-Qur’an. Dari guru-guru dinegerinya itu, ia menerima pelajaran ilmu-ilmu
agama yang pokok. Setelah beranjak remaja, ia sering mengembara untuk
mendapatkan hadis. Belum genap berusia 15 tahun, ia telah berangkat mengembara
menuju Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan jazirah.
Kepada ulama-ulama dibanyak negeri
tersebut, ia belajar hadis hingga menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadis yang mempunyai
sanad sedikit. Ia juga dikenal memiliki kapasitas yang kuat dalam bidang
kekuatan periwayatan hadis.
Saat di Mesir , Nasa’I merasa cocok
tinggal di negeri itu. Karenanya, ia kemudian memutuskan menetap di jalan
Qanadil hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian, ia berpindah ke Damsyik (
Damaskus). Di tempat yang baru ini, ia mengalami suatu peristiwa tragis yang
menyebabkannya menjadi syahid.
Alkisah, ia dimintai pendapat
tentang keutamaan Mu’awiyah. Hal ini sama artinya mereka ( golongan penguasa)
meminta secara halus kepada Nasa’I agar menulis sebuah buku tentang Mu’awiyah,
sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali. Menghadapi hal itu, ia
menjawab, “ Tidakkah engkau merasa puas dengan adanya kesamaan derajat (antara
Mu’awiyah dengan Ali), sehingga engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?”
Mendapat jawaban seperti ini, mereka
pun naik pitam. Suruhan sang penguasa itu lalu memukul dan menginjak-injaknya,
kemudian menyeretnya keluar dari masjid dengan paksa. Begitu rupa siksaan yang
dialami hingga membuatnya nyaris mati.
Ia wafat pada tahun 303 H, tetapi
tetap tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam
Daraqutni menjelaskan, bahwa saat ia mendapat cobaan tragis di Damaskus itu, ia
meminta supaya dibawa ke Makkah. Pemohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal
di Mekkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwa.
Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah
al-‘Uqbi al- Misri dan ulama yang lain.
Namun, Imam zahabi tidak sependapat
dengan pendapat tersebut. Menurutnya, Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu tempat
di Palestina. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Yunus dalam Tarikhnya; demikian
juga Abu Ja’far at-Tahawi tahawi dan Abu
Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa
ia meninggal di ramlah. Tetapi, yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis.
B.
Sifat-sifatnya
Secara fisik, ia mempunyai wajah
yang tampan, warna kulit kemerah –merahan, dan senang mengenakan pakaian
garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik
diwaktu malam maupun siang hari, dan selalu beribadah haji serta berjihad. Selain
itu, Nasa’I juga mengikuti jejak Nabi Dawud dalam melakukan puasa, sehari puasa
dan sehari tidak.
Ia sering ikut bertempur
bersama-sama dengan gubernur Mesir. Orang-orang mengakui kesatrian dan
keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang tetap berpegang teguh pada
sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum muslimin yang tertangkap lawan.
Walau demikian, ia dikenal “menjaga jarak” dengan majelis sang Amir, padahal ia
tidak jarang ikut bertempur bersamanya. Demikianlah, hendaklah para ulama itu
senantiasa menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Namun, jika ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera
memenuhi panggilan itu.
C.
Fiqh
Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hagal hadis,
tapi juga mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadis yang
diriwayatkan. Selain itu, ia juga seorang ahli fiqh yang berwawasan luas. Iman
Daraqutnu pernah berkata bahwa Nasa’I adalah salah seorang syekh di Mesir yang
paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadis
dan perawi-perawinya.
Ibnu Asirr al-Jazairi menerangkan
dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahwa Nasa’I bermazhab Syafi’I dan ia
mempunyai kitab manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’I, Rahimahullah.
Imam Nasa’I telah menulis beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya,
diantara kitab As-Sunanun-Kuba, As-Sunanus-Sugra (terkenal dengan nama
Al-Mujtaba) , Al-Khasa’is, Fada’ilus-Sahahab, dan Al-Manasik. Diantara
karya-karya tersebut, yang paling besar dan bermutu adalah kitab As-Sunan.
D.
Sunan
Nasa’i
Nasa’I menerima hadis dari sejumlah
guru hadis terkemuka, salah satunya Qutaibah Imam Nasa’I Sa’id. Ia mengunjungi
Kutaibah ketika berusia 15 tahun dan selama 14 bulan belajar dibawah asuhannya.
Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram, dan
Abu Dawud, penulis As-Sunan, serta Tirmdzi, penulis Al-Jami’.
Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh
para ulama yang tidak sedikit jumlahnya.
Beberapa di antaranya Abul Qasim
at-Tabarani (penulis tiga buah Mu’jam), Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin
al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, dan Abu
Bakar bin Ahmad as-Sunni (perawi sunan Nasa’i).
Ketika Imam Nasa’I selesai menyusun
kitabnya, As-Sunanul-Kubra, ia lalu
menghadiahkannya kepada Amir Ar-Ramlah. Sang Amir bertanya, “ Apakah isi kitab
ini shahih seluruhnya?”
Ia menjawab, “Ada yang shahih, ada
yang hasan, dan ada pula yang hamper serupa dengan keduanya”.
Sang Amir menjawab, “ Kalau
demikian, pisahkan hadis-hadis yang shahih saja.”
Atas permintaan sang Amir inilah,
maka Nasa’I kemudian berusaha menyeleksi, memilih yang shahih-shahih saja,
kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan Sunanus-Sugra. Kitab ini
disusun menurut sistematika fiqh, sebagaimana kitab-kitab sunan lain.
Imam Nasa’I sangat teliti dalam
menyusun kitab Sunanus-Sugra. Karenanya, para ulama berkata, “ Kedudukan kitab
Sunanus-Sugra ini dibawah drajat shahih Bukhari dan shahih Muslim, karena
sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat didalamnya.
Oleh karena itu, kita dapatkan bahwa
hadis-hadis Sunanus- Sugra yang dikritik oleh Abul Faraj bin al-Jauzi dan
dinilainya sebagai hadis maudu’ kepada hadis-hadis tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima. As-Sayuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang
berbeda dengannya mengenai sebagian besar hadis yang dikritik itu. Dalam Sunan
Nasa’I, terdapat hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, hanya saja hadis yang
dhaif sedikit sekali jumlahnya.
Adapun pendapat sebagian ulama yang
menyatakan bahwa isi kitab ini shahih semuanya, maka itu adalah suatu anggapan
yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau, mungkin
yang dimaksud dari pernyataan tersebut sebenarnya adalah sebagian besar hadis
dalam kitab ini hadis shahih.
Sunanus-Sugra inilah yang
dikategorikan sebagai salah satu kitab hadis pokok yang dapat dipercaya dalam
pandangan ahli hadis dan para kritikus hadis. Sedangkan, Sunanul-Kubra telah
disepakati oleh ulama kritik hadis untuk ditinggalkan. Hal ini dikarenakan
metode yang ditempuh Nasa’I dalam penyusunan kitab ini tidak meriwayatkan
sesuatu hadis yang dicantumkan.
Apabila ada suatu hadis yang
dinisbahkan kepada Nasa’I, misalnya dikatakan “ hadis riwayat Nasa’I”, maka
yang dimaksud ialah riwayat yang tedapat dalam Sunanus-Sugra, bukan
Sunanul-Kubra (kecuali oleh sebagian kecil penulis). Hal itu sebagaimana telah
diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud syarhu Sunan Abi Dawud pada bagian
akhir uraiannya yang berbunyi: “ketahuilah, perkataan Munziri dalam
Mukhtasar-nya dan perkataan Mizzi dalam Al-Atraf-nya, bahwa “hadis ini diriwayatkan
oleh Nasa’I”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam Sunanul-Kubra, bukan
Sunanus-Sugra, yang ini beredar dihampir seluruh negeri, seperti India, Arabia,
dan negeri-negeri lain.
Sunanus-Sugra ini merupakan
ringkasan dari Sunanul-Kubra dan kitab ini hamper-hampir sulit ditemukan. Oleh
karena itu, hadis-hadis yang dikatakan oleh Munziri dan mizzi sebagai “
diriwayatkan oleh Nasa’I” adalah yang terdapat dalam Sunanul-Kubra. Kita tidak
perlu bingung dengan tiadanya kitab ini sebab setiap hadis yang terdapat dalam
Sunanus-Sugra terdapat pula dalam Sunanul-Kubra, dan tidak sebaliknya.[5]
E. Guru
dan Muridnya
Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang
dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses
pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena
di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara
masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan
pengetahuan.
- Di antara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
1. Qutaibah bin Sa’id
2. Ishaq bin Ibrahim
3. Hisyam bin ‘Ammar
4. Suwaid bin Nashr
5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
6. Abu Thahir bin as Sarh
7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
8. Ishaq bin Rahawaih
9. Al Harits bin Miskin
10. Ali bin Kasyram
11. Imam Abu Dawud
12. Imam Abu Isa at Tirmidzi
Dan yang lainnya.
- Murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah:
1. Abu al Qasim al Thabarani
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an
Nahwi
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani
4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
5. Al Hasan bin Rasyiq
6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
7. Abu Ja’far al Thahawi
8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
10. Abu Basyar ad Dulabi
11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni.
Dan yang lainnya.
F. Hasil Karya Beliau
Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya,
diantaranya adalah;
1. As Sunan Ash Shughra
1. As Sunan Ash Shughra
2. As Sunan Al Kubra
3. Al Kuna
4. Khasha`isu ‘Ali
5. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
6. At Tafsir
7. Adl Dlu’afa wa al Matrukin
8. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
9. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin
wahid
10. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
11. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
12. Musnad Hadits Malik
13. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
14. Al Ikhwa
15. Al Ighrab
16. Musnad Manshur bin Zadzan
17. Al Jarhu wa ta’dil
G. Contoh Hadisnya
1.
Penjelasan tentang orang muslim dan orang muhajir
عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: المسلم المسلمون من لسا نه ويده والمها جرمن هجر ما نهى الله عنه. (رواه البخارى و ابو داود والنسائ)
Artinya:
“Dari Abdillah bin Amru, dari nabi SAW bersabda,
orang muslim adalah orang yang orang-orang muslim sekitarnya merasa terjaga
dari derita yang diakibatkan lisan dan tangannya, sedangkan orang muhajir
adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah.” (diriwayatkan al-Bukhari abu Daud dan An-Nasa’i)
2. Tanda keimanan
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: لما يوئمن احد كم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
(رواه
البخاري ومسلم و أحمد والنسائ)
Artinya:
Dari Anas Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shalallahu
Alaihi wa Sallam, bersabda, “Tidak beriman salah seorang kalian sehingga ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, Ahmad dan
An-Nasa’y).
3. Tanda-tanda kemunafikan
عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم: أربع من كن فيه كان منا فقا خالصا ومن كانت فيه خاصلة منهن كانت فيه
خصلة من النفا ق حسى يدعها اذا ائوتمن خا ن واذا حد ث كذ ب واذا عاهد غد ر واذا خا
صم فجر.
(رواه
الشيخا ن و أصحا ب السنن الثلاثاة أبود واد والترمذي والنسائ)
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata, “Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Ada empat sifat bila kermpat-empatnya itu
terdapat dalam diri seseorang maka ia telah menjadi seorang munafik tulen. Dan,
barang siapa yang pada dirinya hanya terdapat salah satu dari keempat sifat itu
maka pada dirinya sudah tumbuh satu sifat kemunafikan, sehingga ia
meninggalkannya. Bila dipercaya khianat, bila berbicara dusta, bila mengikat
tali perjanjian ingkar, dan bila memusuhi licik.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany, Ashabus-Sunan
ats-Tsalatsah, Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y).
H. Penilaian Ulama
Dari kalangan ulama seperiode beliau dan
murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada beliau,
diantara mereka yang memberikan pujian kepada beliau adalah:
1.
Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; “beliau adalah
tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan;
beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.”
2.
Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; “aku
ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.”
3.
Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan;
“beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin.”
4.
Abu Sa’id bin yunus menuturkan; “beliau adalah
seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.”
5.
Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; “beliau adalah
seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.”
6.
Ad Daruquthni menuturkan; “Abu Abdirrahman lebih di
dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada
masanya.”
7.
Al Khalili menuturkan; “beliau adalah seorang
hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas
kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai
sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.”
8.
Ibnu Nuqthah menuturkan; “beliau adalah seorang
imam dalam disiplin ilmu ini.”
9.
Al Mizzi menuturkan; “beliau adalah seorang imam
yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.”[6]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syihabbuddin. 1415 H/ 1995 M. Tahdzib
At-Tahdzib, Bairut: Darul Fikr.
Pramono, Teguh. 2012. 100 MUSLIM TERHEBAT Sepanjang Masa.
Jogjakarta: DIVA press.
Abu Khalil, Syauqi. 2007. Atlas
Hadits. Jakarta : Almahira
Qadir ar-Rahbawi, Abdul. 2002. Salat Empat Mazhab, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa,
BIOGRAFI AN-NASA’I _ Diones Aliaski Blog.htm, tanggal 20 Desember 2016
0 comments:
Post a Comment